Minggu, 24 Februari 2019

Berkaca dalam-matamu


-Kepada lelakiku

Dulu aku mencintai senja,
Awan selalu memeluknya dengan nyaman
Semburatnya yang begitu samar menyiratkan malam yang segera datang
Angin yang menggambarkan berjuta elegi,
Selalu saja Kubawa pulang

Kemarin baru saja aku mencintai malam,
Bagaimana bintang-bintang menghibur setiap kesedihan yang kucaci maki dalam diri
Dengan senyuman bulan yang menenangkan dalam pandangan
Disatukan dengan jangkrik yang suaranya menyatu bersama jarak,
Aku tertipu akan senyap

Ah tunggu,
Tapi semuanya goyah ketika mentari menyambut,
Ketika itu aku mulai mencintai pagi bersama siang
Selalu menuntut bahagia dan semangat tiap kali aku gundah tentang lelah dan masalah
Mengingatkan bagaimana peluh dan energi perlu diganti demi awan-awan yang menyiratkan keteduhan

Aku berkaca dalam-matamu
Tentang hati dan diri ini,
Bagaimana bisa sekarang aku memilih mencintaimu?
Tanpa tergoyah akan sepi dan rindu yang biasanya kupasrahkan untuk berganti
“Aku mencintaimu, sekarang dan selamanya.”
Aku berbisik kepadamu. Menghianati tiap jengkal  jemarinyang sebelumnya kuresahkan.

Yogyakarta, 12 November 2018.
Ruang kelas 3.2 bersama bu rini yang cerita tentang baby walker.

Hidupku


Pagi ini aku merasakan matamu menjelajah
Kedalam suara yang kupaksakan lirih
Menilik lenganku yang bergetar tanpa malu
Memastikan keringat yang mengucur karena menahan perih

Siangnya aku melihatmu dengan sayu
Matamu menyiratkan sinar redup,
Meminta istirahat,
Meminta sedikit waktu untuk mempertahankan kesadaran yang kian melemah
Tapi ketika aku datang dan meminta makan
Sampai ketika aku menyuapkan makanan,
Matamu berbinar
Aku menikmati bagaimana kau menikam kantuk yang berusaha mati matian kau sembunyikan
Aku meremang mendengar pengkuan bahwa kau bahagia ketika aku merasa akulah yang paling bahagia,
; Kita masih berusaha berebut predikat.

Malam inipun,
Aku mengais iba terhadap lemah yang kupaksakan menguat
Sama sepertimu,
Ternyata selemah apapun aku; semuanya hilang demi melihatmu sedikit tenang dan aman
Ditambah dengan senyuman dan kecemasan yang hilang,
Aku mencintaimu

Di dalam bola matamu
Pijar yang selalu berapi
Aku menitipkan sesuatu

Hidupku, ada di dalam matamu.

yogyakarta, 9 November 2018.
Desi Dwi Siwi Atika Dewi

Sederhana

(Sebuah puisi, Oleh Mahmasoni Masdar)

Kita pernah sama-sama gila
Menggilai kata yang kita sebut dengan cinta
Kau dengan pengorbananmu pun aku dengan perjuanganku
Kita pernah sama-sama meminpikannya
Tentang sebuah hal yang selalu kita semogakan
Konyol memang tapi begitulah adanya

Hei tau kah kau ?
Sebelum bertemu denganmu
Aku tak pernah percaya cinta itu sederhana
Yang ku tahu itu hanya terjadi di balik layar kaca
Aku bertemu dengan banyak sekali orang baru dihidupku
Tapi entah kenapa pertemuan denganmu menyentuh pintu hatiku
Pintu yang telah rapuh akan apa yang dinamakan cinta
Dan entah mengapa dengan mudahnya kau memperbaiki segalanya
JANGAN, JANGAN, jangan kau terlalu dekat
Aku malu bila kau sampai mendengar debar jantungku
Dan jangan salahkan aku bila mendadak aku berubah menjadi penyair kaleng
Karna denganmu hidup terlalu bermakna

Aku pernah menjadi seseorang yang sangat posesif
Tapi apa semua berujung duka
Aku pernah menjadi seorang pencemburu
Tapi apa semua menjadi luka
Bahkan aku pernah menjadi seorang pengemis
Tapi apa iba pun tak kurasa
Kembung perutku dengan nikmat mencari
Dan terlalu kenyang perutku dengan nikmat penantian
Sekaranglah saatnya aku menikmati sabar
Sabar untuk belajar denganmu
Dan sabar untuk memiliki

Denganmu aku ingin menjadi seseorang yang sederhana
Biarlah orang diluar sana mencintai dengan mengagung-agungkan pasangannya
Biarlah orang diluar sana mencintai dengan mendambakan materi
Biarlah orang diluarsana mendustai cinta dengan kedok jarak dan waktu
Biarkan aku cukup mencintaimu dengan sederhana
Sesederhana kita tertawa bahagia
Sesederhana kita berdecak kagum akan dunia
Dan sesederhana kita memaknai cinta dan rindu
Biasa biasa saja menjadi terbiasa lalu bermuara pada kebiasaan

Dari lelakimu yang mencoba untuk menghiburmu
RSS 8 nov 2018

Surat Rindu dari Sanur



Lalu lelakiku, sedang apa kamu?
Disini aku menjadi aku yang biasanya,
Merindu tanpa berbagi

Apakah disana dingin?
Kuberitahu sesuatu,
Malam ini aku menerobos hujan lebat yang tiada sendu-sendunya
Berharap kedinginan,
Tapi sama saja ;
super panas,
membuatku merindukan keluhanmu.

Sanur, 3 November 2018
Hujan. 11.41 Waktu Bali.

Kepada kamu,

Teruntuk wanita masa lalu lelakiku.

Dalam diam dan senyuman, aku menemukan lelakiku ketika jatuh kedalam jurang terdalamnya, kacau, sedang sekarat-sekaratnya karena—ditinggalkanmu. Dan aku setengah mati mengembalikan senyum dan kepercayaannya padaku, yang pun tak tahu bagaimana bisa tersentuh oleh cerita dan impinya yang kandas—mungkin karenamu.

Berhentilah,
Tak perlu kau menggambarkan beribu bintang yang tergantung impian kalian di masa itu hanya untuk menariknya kedalam pelukmu-lagilagi.

Mengertilah,
Bukan kepadanya kau akan berdamai dengan hatimu, bukan dia tempat yang kausimpan dalam memori masa depanmu.

Sudahilah,
Terkadang aku lelah mencemaskan ini.
Lelah ketika lelakiku mengaku tak perlu risau dengan semua sikapmu.
Bertengkar dengan ego ketika kau menanyakan apakah aku mendengar segala keromantisan kalian dimasa itu.
Ingin menutup mata ketika melihatmu menilai bagaimana aku didalam diriku.

Tak perlu dengan sigap menanyakan bagaimana kedaannya,
Akan kupastikan dia baik dan bahagia bersamaku.

Jangan kembali datang dan menggelitikku dengan segala omong kosong penyesalanmu atas kehancuran lelakiku.

Sekarang, biarkan sedikitnya aku membuatnya tersenyum sesekali dan bahagia selamanya bersamaku.


Yogyakarta,
26 oktober 2018.

Rabu, 06 Februari 2019

Sepenggal Memori #1

Selamat siang, sayang. 
Mari kita ceritakan sedikit tentang apa yang aku rasakan tentang kamu, dari sisiku tentunya. Kamu adalah laki-laki yang pertama kalinya membuatku tertegun karena membaca namamu, cukup manis dan semudah itu masuk dalam ingatanku. 
Pertemuan pertama kita jauh dari kata manis, kau mendengarkan video kesayanganmu dan aku dengan segala hal yang membuncah karena menemukan kacamata baruku. Aku melihatmu memperhatikan layar itu, membuatku sedikit iri karena lepas dari perhatianmu. Sekian kali kakiku menapak menjauh, aku meragu untuk membiarkanmu begitu saja berlalu dibelakangku. Beberapa kali kubaca dalam lirikanku, nama yang terpampang membuatku sedikit merasa aneh dengan diriku sendiri. "Mahmasoni Masdar" yang tertempel dengan rapi disudut mataku. Menyapamu pertama kali kala itu adalah hal yang membuatku menarik nafas hanya sekedar memeriksa kalau-kalau paru-paruku bingung bagaimana cara yang baik untuk mengembang. Dirimu jauh dari kata ramah, namun matamu menunjukkan tujuan yang terarah, kali pertama aku larut menatapmu. Tidak tau diri dan lupa bahwa kacamataku bukan kacamata hitam yang mampu menyembunyikan sinarnya, bodoh, runtukku. 
Jum'at, September 2018. 
Aku adalah satu-satunya orang yang begitu takut menyambutmu. Banyak bisik yang membuatku mengerti bagaimana dirimu, tentang segala hal yang sempurna, dan aku yang mengandalkan langkah pasti untuk sekedar dianggap "baik". Kamu adalah angan-angan yang kulukiskan lewat senyuman, di balik tembok tempatmu bersandar. Sekali lagi datang, waktu dimana aku memandangmu berbicara dan mendengarkan bagaimana humor yang kau lontarkan. Baik, aku terhibur dengan segalanya. Aku memicingkan mata untuk mengerti bahwa kekaguman ini  adalah sebuah rasa, yang tidak akan pernah berubah menjadi asa. Begitu, nyatanya. 
Banyak hal yang membuatku mengerti bagaimana harus menunggu tiap notifikasi yang menyembulkan namamu. Sejauh apa kamu berlari, menjauh, mendekat, datang dan pergi, tersenyum dan meminta dibenci, aku selalu jatuh tepat dibawah tatapanmu. Setiap malamnya. Setiap paginya. 
Aku selalu tersenyum bahkan hanya ketika kamu membalas dengan "oke", sesimple itu untuk membuatku bahagia sepanjang hari, mengerjakan tugas dengan berbagi, mengais rindu dengan berlari, makan enak tanpa tau diri. Asa takkan pernah ada, sehambar itu aku melihat tiap status yang kaupasang sebagai peraduan rindu. Aku mengagumi sosok yang membuatmu begitu mendamba, siang dan malam, tiap tetesan mata yang kau persembahkan untuk suatu perpisahan. 

Sampai pada ketika aku benar-benar mengerti bagaimana kau menyatakan sayang, aku mengaduh mencari sesuatu untuk diseduh. Kau membawa awan beserta hujannya. Kau membawa pagi beserta kabutnya. Kau membawa diriku beserta semua harapannya. 

Kau adalah romeo yang kuikat menjadi pangeranku, sampai sekarang dan nanti. 
Untuk kamu yang kusayang siang dan malam, aku berharap menjadi pengganti segala resah dan alasanmu kian bahagia tiap harinya. Aku mencintaimu. 

Yogyakarta, 7 Februari 2019. 
Sedang menungguimu siang-siang dengan rindu.
Desi Dwi Siwi Atika Dewi