Minggu, 05 Juli 2020

Suamiku, kadang hidup memang terasa begitu berat
Kita masih sama-sama berjuang untuk mencapai cita
Kita masih sama-sama mencoba mengerti bagaimana aku dan kamu
Kita masih sama-sama mengelukan kebahagiaan semata, melupakan duka yang kadang justru lebih penting untuk dikaji
Namun satu hal yang harus kaumengerti,
bahwa aku tak akan pernah pergi dengan senyum dan sedih yang ada dalam hatimu.
Aku mencintaimu dalam bahagia, risau, sedih, dan kecewamu.


Rabu, 17 April 2019

Jamuan Pagi

Ada hal-hal unik yang tidak pernah bisa hilang dari ingatan,
“Des apaan itu?” Dengan reaksi kagetnya, pacarnya memandangku dengan tatapan bertanya. 

Lalu aku berseru, seperti dulu, masih sama ketika aku mendapati diriku larut dalam suka-duka menyembunyikan luka bersama mereka
“Hehehehe” senyumku sama dengan senyum kepada yang lainnya, yang secara terpisah kutemui.

(( Mungkin, aku bukan seperti anak-anak yang lain 
Yang dengan mudah “terpisah” dengan teman-temannya ketika sudah berbeda ruang dan kapasitas waktu, 
Mungkin, aku bukan seperti anak-anak yang lain 
Yang bisa dengan mudah pergi dan “melupakan”bahwa aku pernah bergantung dan sangat menyayangi teman-teman yang harusnya tak seberapa berharga.
Kuterima perbedaanku dengan diam, 
Aku susah mencari teman, 
trauma dengan yang namanya sahabatan, 
mencaci diri sendiri karena tidak pernah berani menjalin kedekatan hingga ke batas “sangat dekat”, semenjak itu.
Kesulitan ini yang membawaku tidak terbiasa dengan teman baru, 
selalu menemukan “beda” yang berarti. 
Zaman dulu, bahkan pacar tidak ada artinya dibanding teman-temanku. 
Yang rela menembus hujan menemukan aku bersandar kedinginan. 
Yang rela menjadi pelindung tanpa sayap, meskipun gapernah diminta. 
Yang supportnya selangit, telinganya kelewat lebar untuk mendengarkan ceritaku yang ga jarang juga abal-abal. 
Zaman dulu, hidupku tidak pernah bisa jauh dari orang-orang yang membuatku sekuat baja menutupi kerapuhan yang amat kentara 
Karena semua orang menebarkan benci dan caci dengan segala hal yang aku terap-i))
 
“Aku bahagia” kataku menutup pembicaraan panjang yang menuntut tanggapan. 
Dia berkaca-kaca, sedikit, lalu melihat pacarnya. Tersenyum. Dan melihatku. Tersenyum. 
“Mauu ketemuu ketokee asiik, ntar tak anter keluar yo nek dijemput”  

Begini cukup keharuan saya sebagai seorang teman. 
Ketika mereka menunjukkan ketulusan, sekalipun saya pergi tanpa ada kabar. 
Sama seperti Nadine, Iftita, Rahma, Galih, Setya, dan Adnan. My surviva; kit SMA, terima kasih sudah selalu menjamu kekuatan dan menghadirkan ketulusan. 
 Terima kasih atas segala doa yang kalian hantarkan sehingga sekarang saya menemukan senyuman! 


Sabtu, 13 April 2019

🧸

https://drive.google.com/uc?export=view&id=1odWrkV7gsd2sPoRXbl8JJHpvSJPXcz0q

Senyummu adalah yang dituliskan Tuhan untuk menemaniku, jadi jangan pernah meragu dalam mencintaku. Sehat-sehat, sayang. 

Untuk Mahmasoni

Aku melihat kamu dengan manis, semanis kucing tetangga yang meminta makan kepada empunya. “Magis sekali” cibirku menahan diri untuk tidak lari dalam pelukanmu bahkan ketika dirimu sedang terlelap terlalu dalam.

Biar kuceritakan sedikit tentang aku,
Aku sama seperti manis yang kau puja dalam teh hangatmu setiap pagi, 
Aku mirip dengan angin yang kau nantikan ketika panas mulai menjelang,
Bahkan aku adalah jelmaan senyuman yang tak bisa kau kendalikan dalam nyaman,
Sekelumit hal yang bisa kutemukan tentang aku di matamu adalah ; kesempurnaan dan ketidaksempurnaan yang kausimpan diam-diam.
Aku selalu bernalar dan berimaji bahwa diri ini adalah awan yang memayungi makhluk ketika terik,
Namun nyatanya, masih sering aku menyangsingkan datangnya hujan. Aku jatuh kembali bersama jutaan lainnya, kau memelukku menuju ke aliran yang tak tau dimana muaranya. 

Sekali ini kuceritakan tentang betapa sempurnanya aku sekarang ini,
Kenapa hidup ini begitu adil? Setelah sekian kaliaku jatuh dengan tanpa sandaran,
Sekali lagi kuceritakan betapa sempurnya aku sekarang ini,
Karena kamu. 

Terima kasih. 

Selamat pagi, Yogyakarta
14 Maret 2019. 
Desi dwi siwi atika dewi. 

Selasa, 05 Maret 2019

Sore ini, aku kembali mengikuti kelas dengan sedikit rasa malas
Aku memikirkanmu yang siang ini luput dari tatapanku, sejenak
Kita terpisahkan oleh atap yang dipaksa tetap menopang,
tidak seperti kita yang dari awal sepakat menahan topangan.

"Sudah makan?", sapaku sedikit menahan rindu
"Huum", balasmu. Membalas permintaan maafku yang melangkahkan kakiku lebih dulu ke kantin, dengan teman yang perutnya mengaduh sedari pagi. 
Ahh begini rupanya hambar makan tanpamu dihadapanku.

Terkadang hal begini sedikit membuatku tidak tenang,
ingin segera menghambur ke pelukanmu dan mengaduh meminta maaf untuk sekian kalinya dengan hati ; tanpa terucap,
sekian kali kaupun tahu,
 
syukurku tidak membutuhkan sejuta alasan,
cukup pengertianmu ketika lidahku kelu.

//Di dalam kelas//
Ismangoen, 6 Maret 2019.
Desi Dwi Siwi Atika Dewi

Minggu, 24 Februari 2019

Berkaca dalam-matamu


-Kepada lelakiku

Dulu aku mencintai senja,
Awan selalu memeluknya dengan nyaman
Semburatnya yang begitu samar menyiratkan malam yang segera datang
Angin yang menggambarkan berjuta elegi,
Selalu saja Kubawa pulang

Kemarin baru saja aku mencintai malam,
Bagaimana bintang-bintang menghibur setiap kesedihan yang kucaci maki dalam diri
Dengan senyuman bulan yang menenangkan dalam pandangan
Disatukan dengan jangkrik yang suaranya menyatu bersama jarak,
Aku tertipu akan senyap

Ah tunggu,
Tapi semuanya goyah ketika mentari menyambut,
Ketika itu aku mulai mencintai pagi bersama siang
Selalu menuntut bahagia dan semangat tiap kali aku gundah tentang lelah dan masalah
Mengingatkan bagaimana peluh dan energi perlu diganti demi awan-awan yang menyiratkan keteduhan

Aku berkaca dalam-matamu
Tentang hati dan diri ini,
Bagaimana bisa sekarang aku memilih mencintaimu?
Tanpa tergoyah akan sepi dan rindu yang biasanya kupasrahkan untuk berganti
“Aku mencintaimu, sekarang dan selamanya.”
Aku berbisik kepadamu. Menghianati tiap jengkal  jemarinyang sebelumnya kuresahkan.

Yogyakarta, 12 November 2018.
Ruang kelas 3.2 bersama bu rini yang cerita tentang baby walker.

Hidupku


Pagi ini aku merasakan matamu menjelajah
Kedalam suara yang kupaksakan lirih
Menilik lenganku yang bergetar tanpa malu
Memastikan keringat yang mengucur karena menahan perih

Siangnya aku melihatmu dengan sayu
Matamu menyiratkan sinar redup,
Meminta istirahat,
Meminta sedikit waktu untuk mempertahankan kesadaran yang kian melemah
Tapi ketika aku datang dan meminta makan
Sampai ketika aku menyuapkan makanan,
Matamu berbinar
Aku menikmati bagaimana kau menikam kantuk yang berusaha mati matian kau sembunyikan
Aku meremang mendengar pengkuan bahwa kau bahagia ketika aku merasa akulah yang paling bahagia,
; Kita masih berusaha berebut predikat.

Malam inipun,
Aku mengais iba terhadap lemah yang kupaksakan menguat
Sama sepertimu,
Ternyata selemah apapun aku; semuanya hilang demi melihatmu sedikit tenang dan aman
Ditambah dengan senyuman dan kecemasan yang hilang,
Aku mencintaimu

Di dalam bola matamu
Pijar yang selalu berapi
Aku menitipkan sesuatu

Hidupku, ada di dalam matamu.

yogyakarta, 9 November 2018.
Desi Dwi Siwi Atika Dewi