Dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat
Diucapkan kayu kepada api
Yang menjadikannya abu..
Dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat
Disampaikan awan kepada hujan)
Yang menjadikannya tiada
--------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------------
From : Surti
Non, Segeralah pulang. Anak kembar dini-dina tiba - tiba menggigil tak tahu kenapa. Segeralah pulang, kami menunggu.
Kepada Riri
Hamparan semesta masih terbentang saat aku menuliskan ini, ketika akan lahir anak ketigaku lengkap dengan 2 bayi lagi yang akan mengisi keluargaku dan Zayyan. Kehadirannya harusnya membahagiakan kami, namun sepertinya tidak untukku seutuhnya. Ada kebahagiaan baru yang dititipkan Tuhan kepada bayi ini, bukan untukku tapi..untuk orang lain yang selama ini diam menyimpan kebahagiaan terbesarnya.
Genap sudah 5 bulan aku tau, aku akan meninggal jika aku mempertahankan ketiga bayi ini.
Maka dengan ini, aku tuliskan lembaran sayup kesedihan nuraniku. Aku dan Zayyan telah menikah, berkat permintaanmu akan pernikahan kami. Terima kasih mengijinkanku bahagia dengan lelaki yang kuanggap dewa semenjak usiaku masih 10 tahun. Lucu bukan? Kau yang tahu hal itu, jangan dibeberkan. hehe. Zayyan begitu paham dan mengerti apa sesungguhnya hakekat mencintai dan menyayangi. Dia, lelaki terhebat yang pernah kutemui, menikahi wanita yang tidak dicintainya hanya untuk melihat gurat kesedihan berkurang dari wanita yang amat dia cintai. Dia begitu tahu bahwa kau mengorbankan cintamu untuknya, maka dia kuburkan juga cintanya kepadamu. Dia menumbuhkan cintanya untukku, agar cintanya untukmu tetap tersimpan rapih didalam banker kekuatan jiwanya.
Sekarang waktuku untuk pergi, aku senantiasa mengucapkan terima kasih untukmu. Berkat mu, mimpi terbesarku sudah tercapai. Hidup bahagia mewujudkan mimpi kalian yang tak akan pernah bisa menjadi kenyataan jika kau tidak tersakiti. Sekarang saatnya kau untuk mewujudkan mimpimu, menikahlah dengan Zayyan ketika pusaraku sudah harum oleh belukar dan bunga bermacam warna.
Kakakku sendiri yang telah memvonismu tidak bisa hidup karena hamil, maaf akan kenyataan itu. Maka sekarang, giliranku mewujudkan mimpimu dulu bersama zayyan, tinggal bersama, menikah, dan memiliki 5 anak lucu yang akan kaunamakan sesuai abjad. Aku masih ingat betul bagaimana rasa sakitku ketika kau mengimajinasikannya bersama pria yang amat kucintai. Namun, sekarang aku telah begitu paham aka takdir. Kita memang ditakdirkan saling menggantikan, bukankah begitu?
Maka kutitipkan kelima anak kami dan Zayyan, Wujudkan mimpimu, dan doakan aku bahagia. Karna kebahagiaan duniaku telah lengkap, maka kubawakan bahagiamu dari surga di rahimku. Selamat tinggal.
Dengan ketulusan, Elsa
Pagi ini
Langkah kakiku masih bising
Beradu dengan angin yang berhembus tak ingat tepian
Kata kata yang kusimpan sejak temaram
Menohok di tenggorokkan
Ingin segera berlari menuju ruang bebas,
Yang berkali kuulang dalam sajak
"Permisi" katanya
"Tetap disini, maka tak akan pernah aku sepi"
Jawabku ditelantarkan kesendirian
Maka kami menciptakan dimensi baru
Di dalam perayaan kesepian
Bersamaan dengan kerapuhan
Yang diibaratkan hujan oleh sapardi
Menahan sakit di ujung kerongkong
Meringis diam membungkus baka
Yogyakarta, 19 September 2015
Siang itu
Mataku berkelambu mengikuti arah pandanganmu
Meneliti setiap kusen dalam ruangan
Menunggu detik yang tepat untuk beradu
Aku menungu dengan tenang
Gelisahku semalam membawa diriku begitu nyaman
Karena tak kulihat lagi berjuta bintang menari dalam alunan rindunya
Tak kudengar lagi alunan riang kasih sayang dalam tuturnya
Hanya sepi, dan menuntut pengakuan kebebasan
Ketika kata itu terucap
Seluruh darahku menggigil
Seluruh pandanganku mengabur
Namun senyumku mengembang
Menutupi jutaan rasa kecewa
Yang mengisyaratkan "baiklah" untuk "jangan"
Yang menyembunyikan "aku hancur" dengan "aku tak apa"
Memoriku menuntut kembali
7bulan 3 minggu yang lalu, kami bahkan berceloteh mengenai kasih sayang
Haruskah diingat?
Desi Atika
Yogyakarta, 30 Juni 2015
Thanks for everything you've shared to me. MRA.
Mendengarkan angin
Mengisi keheningan waktu menyisir sepi
Di dalam keramaian kemataan
"Aku menunggu hingga peluh membanjir,
Hingga janji setia memang telah diutuskan"
Janji kesunyian kembali mengembang kepada sukmaku
Yang dipelihara kosong oleh galaksi
Yang dipenuhi hampa oleh atmosfer
Kembali ke dalam masa ini
Di mana takdir tak cukup mampu
Menuliskan berbagai alasan untuk menikmati
Di mana kisah menggoreskan berjuta pengalaman lama
Yang bahkan tak dapat paham kepada logika
Jogja, 5 mei 2015
Desi Dwi Siwi
Halo, jam 09.04
Kami sedang berada di dalam kelas. Seperti biasa, menikmati apa yang seharusnya didalami. Namun cara kami saat ini hanyalah menikmati apa yang membuat kami kadang menyesal, senang, padahal hanya pengharapan semu sebuah masa depan.
Aku sedang meresapi yang namanya menunggu, yang ditunggu - tunggu tanpa disadari semua umat manusia. Percaya kalau itu bisa saja melelahkan? Aku percaya. Tapi aku menolak mengadakan apa yang dimaksud kepercayaan akan kelelahan.
Kamu tau? Sebenarnya ini bukan masalah mudah untuk menyimpan semuanya, rapat namun menetes karena terikat angin. Pribadiku masih bertahan dengan pribadiku yang lama, tidak bisa terikat dengan apa yang namanya janji, apalagi harus digantungkan hanya karena hal sepele. Sejak kecil, banyak hal yang tidak kau ketahui. Aku tidak akan pernah bisa terkait dengan janji, apalagi tidak ditepati. Bukan salahmu jika melakukan ini.
Maaf membuatmu terjatuh beberapa kali, mungkin. Aku harap kau juga tahu kalau aku mengalami hal yang sama beberapa kali. Percaya akan apa yang dinamakan pengorbanan? Aku tidak merasakan aku melakukan apa itu pengorbanan. Aku hanya menerima ini sebagai salah satu wujud penerimaanku terhadapmu. Paham proses? Aku mengalaminya, tidak instan. Karena aku tidak mau munafik menampik apa yang kami sebut kenyataan. Aku marah,sesekali. Bukan kecewa karena sifatmu, tapi merenungi penerimaanku.
Ini sebabnya, kata maafmu justru membuatku semakin rentan. Takut ketika maafmu semakin menumpuk dan menjadi jengah. Aku takut, jelas. Bukan karena kehilangan, tapi penerimaanku justru membalik menjadi bumerang untukku sendiri.
It12.14 WIB
Selasa, 13 Januari 2015
Ruang kelas XI PMIIA 3
SMA N 2 Yogyakarta
Mendung.
Menanti gerimis.
Sampai saatnya lelah, kami semua akan menyadari bagaimana bumi berotasi.
Tidak sepenuhnya mulus. Kadang dia juga harus mengalah kepada awan dan titik air. Mungkin, karena iba melihat permohonan hujan kepadanya.
Siapa pula yang tidak kasihan kepada hujan, aku berfikir. Bagaimana semua titik titik itu rela dijatuhkan oleh awan, hanyak untuk kami para manusia yang mengancam meniadakannya lagi.
Harus berproses lagi-hanya untuk dijatuhkan kembali, luar biasa.
Di dalam sini, otak kami difokuskan kepada suatu masalah yang sama, matematika. Tapi namanya sma, kami bahkan tidak tau apa yang telah dituliskan di papan tulis yang di atasnya sudah tergantung gagahnya burung garuda.
Hanya kami dengarkan iringan bel yang menandakan kebahagiaan bagi semua siswa, hanya kami perhatikan "bunda" kami yang hari ini cantik dengan rok barunya. Dan aku, memilih menulis catatan entah-berantah ini.
Mulai hujan, gerimis sendu seperti "Bunda Ope" dalam imajinasi Tere Liye ketika sampai di Batavia. Suara sudah bercampur dengan berbagai pita yang nakal hendak disaingi hujan.
Kosong.
Kali ini aku tidak bisa mencatat. Lantaran tangan yang masih mengaduh, atau sedang menggaduh "?" Aku bersama yang lain, sebagian lain yang memilih memegang gadget menemani petir dan gulitanya pikiran. Games, chat, sudah terlampau banyak objek pilihan untuk nakal, jaman sekarang.
Hei hujannya sudah hampir reda, sekarang jam 13.08.
Cepat. Tidak lambat.
Air itu mungkin akan terus mengalir ke tempat yang asing sebelumnya. Sama seperti kami, yang menjalani saja apa yang ada di papan. Mendengarkan saja apa yang sudah diisyaratkan mulut manusia yang sedang berkuasa di zaman ini. Tanpa tau apa yang hendak kami gunakan dengan semua ini.
Tidak. Bukan cita cita yang aku maksudkan di sini.
Namun semuanya, ini semua. Kami terus digelontor dengan rumus rumus Kurikulum yang senantiasa berubah dengan berubahnya....entah.
Tapi tidak pernah jelas.
13.11 WIB
Ruang kelas XI PMIIA 3
SMA N 2 Yogyakarta
Memililki adalah kehilangan yang buram
Memiliki adalah harapan terucap kepada pemilik tatapan sendu
Memiliki adalah kata yang tersampaikan dalam doa
Memiliki adalah cerita yang kaya akan hakekat
Namun aku memilikimu dalam arti yang berbeda
Karena aku memilikimu dalam jarak
Karena aku memilikimu dalam harapan
Yogyakarta, januari.
Desi Dwi Siwi AD
Aku ingin menyimpan senjamu
Hanya aku
Hanya untukku yang matanya sayu berbingkai debu
Aku bermimpi menculik senja
Menggendongnya hanya untukku
Kubawa pulang untukku bertemu
Bertemu kau,
Yang desahnya tak jauh dari radar otak
Aku mengais doa
Agar aku diijinkan menoreh luka dipundakmu
Lalu kuiriis pelan bersamaan dosa inginnya memeluk
Lihatlah!
Aku mengintai senja untuk ada disampingmu
Rasakanlah!
Aku telah berhasil menorehkan luka kepada buih buih kehilangan
Aku ingin mengambil senja
Untukmu
Percayalah
Desi Dwi Siwi AD
Yogyakarta, 7 Januari 2015